Peran mahasiswa sebagai “agent of
change” nampaknya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Mahasiswa dianggap
sebagai basis intelektual menuju masa depan yang lebih cerah dan tentunya
mewujudkan peradaban yang gemilang. Sejarah mencatat beberapa momen dahsyat
dimana mahasiswalah yang menjadi tokoh utamanya. Dengan jiwa muda disertai
nyala semangat yang membara, pada tahun 1966 para intelektual muda indonesia
mampu merapatkan barisan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno (orde lama).
Pada saat itu, para mahasiswa memang sangat peduli terhadap masa depan bangsa.
Rasa peduli yang disertai dengan cara berfikir kritis kemudian membuat mereka
tergerak untuk menyelesaikan problematika yang ada. Eksistensi mahasiswa
sebagai “agent of change” berlanjut pada peristiwa yang tidak kalah dahsyat,
yaitu peristiwa 1998.
Dengan pergerakan yang sistematis dan terorganisir, para mahasiswa yang juga didukung oleh tokoh masyarakat mampu menggulingkan rezim Soeharto yang kemudian mengundurkan diri dari kursi kepresidenannya. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peran strategis di tengah masyarakat untuk mendobrak sebuah peradaban, hingga akhirnya mahasiswa benar-benar mampu menjadi agen yang mewujudkan mimpi masyarakat dalam mewujudkan peradaban gemilang.
Dengan pergerakan yang sistematis dan terorganisir, para mahasiswa yang juga didukung oleh tokoh masyarakat mampu menggulingkan rezim Soeharto yang kemudian mengundurkan diri dari kursi kepresidenannya. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peran strategis di tengah masyarakat untuk mendobrak sebuah peradaban, hingga akhirnya mahasiswa benar-benar mampu menjadi agen yang mewujudkan mimpi masyarakat dalam mewujudkan peradaban gemilang.
Namun, rasanya julukan “agent of
change” yang telah disematkan kepada para intelek muda itu kini sudah tidak
sinkron lagi dengan fakta yang ada. Seiring berjalannya waktu, peran strategis
mahasiswa itu mampu dilemahkan oleh sistem yang kini diterapkan dalam aspek
kehidupan. Sistem kehidupan yang ada, telah mampu menggeser orientasi hidup
para mahasiswa. Kini, orientasi hidup mahasiswa bukanlah peradaban yang
gemilang namun hanyalah kesenangan yang berupa materi. Bangku kuliah hanya
dijadikan fasilitas meraih keuntungan yang dapat dihitung secara matematis.
Kepedulian terhadap kondisi Bangsa dan masyarakat semakin memudar hingga
akhirnya hilang.
Fakta
menunjukkan bahwa mahasiswa di abad 21 ini telah menjadi budak westernisasi.
Dengan bangganya para “Agent of Change” itu melestarikan gaya hidup hedonis,
individualis dan sekuler. Alhasil, bisa kita lihat bagaimana kerusakan yang
timbul dari hal tersebut. Diantaranya semakin maraknya free sex, tawuran,
pemerkosaan, pencabulan, pembunuhan, bahkan untuk menyatakan dirinya
berprestasi pun tak sedikit yang menjadikan dirinya sebagai pelaku plagiat.
Sungguh merupakan hal yang sangat miris, mengingat generasi muda merupakan
penerus peradaban. Pertanyaannya, jika generasi mudanya saja sudah rusak,
bagaimana dengan nasib negeri ini di masa yang akan datang?..
Inilah tugas berat yang harus diemban
oleh para mahasiswa di abad 21 ini, yaitu mencari solusi bagaimana caranya agar
posisi strategis para intelek benar-benar bisa dimaksimalkan demi terciptanya
peradaban yang gemilang. Sebagai “Agent of Change”, sudah saatnya mahasiswa
melawan segala bentuk sekulerisme, menyingkirkan gaya hidup hedonis dan individualis,
kemudian lebih berfikir kritis sehingga terbentuk pemahaman yang ideologis dan
akhirnya menciptakan kehidupan yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar